Senin, 14 Januari 2013
Glory Hunter diterjemahkan
secara harafiah sebagai pemburu kejayaan. Kejayaan identik dengan trofi untuk
sebuah kompetisi sepakbola. Maka Glory Hunter bisa juga disebut pemburu trofi.
Ini makna dasarnya yang dapat kita sepakati. Nah sekarang apakah semua klub
sepakbola mesti menjadi Glory Hunter? Tentu semuanya berambisi untuk menjadi
juara, mendapatkan trofi. Namun dari 20 klub yang berlaga di EPL setiap musim,
hanya ada satu yang bisa menjadi juara EPL. Dan sejak Premier League bergulir
di pertengahan 90-an, hanya 5 klub yang pernah menjadi juara (MU, Blackburn
Rovers, Arsenal, Chelsea dan Manchester City). Lima belas dan lebih klub
lainnya (termasuk yang terdegradasi) hanya bisa berambisi tanpa pernah
merealisasikan ambisinya. Ekspektasi pun diturunkan, masing-masing klub akan
memiliki ekspektasi internal. Mulai dari asal bertahan di EPL, lebih baik
posisinya di klasemen daripada musim sebelumnya, mengincar papan tengah,
mengincar posisi 4 besar, sampai yang benar-benar mengincar trofi juara.
Demikian juga pemain sepakbola.
Tentunya mereka semua bermain bola untuk menang, ingin menjadi juara. Namun
pada realitanya masing-masing pemain bola memiliki ekspektasi internal yang
berbeda-beda sesuai kemampuan dan tempat bermainnya. Ada yang asal dapat
kontrak yang lebih baik daripada sebelumnya, ada yang asal bisa bermain di EPL,
ada yang ingin masuk timnas, dan tentu ada yang ingin menjadi juara. Mereka
semuanya glory hunter, tapi glory di sini tidak selalu identik dengan trofi.
Glory bisa juga berupa pemujaan dari fans karena mereka adalah pemain terbaik
di klubnya, walaupun klubnya konsisten pengisi papan bawah klasemen. Glory bisa
juga berarti kontrak baru yang mencapai nilai jutaan poundsterling per tahun,
yang menempatkan mereka sebagai salah satu orang terkaya di daerahnya. Dalam
setiap pertandingan tentu semua pemain ingin menang. Namun kekalahan bukanlah
akhir kehidupan. Menang dan kalah tidak ditentukan sendiri, ada 22 pemain
sepakbola di lapangan dan kontak antara 22 pemain tersebut dengan 1 bola itu
yang menentukan hasil pertandingan.
Nah bagaimana dengan fans
sepakbola? Fans sepakbola, walaupun sering disebut sebagai pemain ke-12 dalam
satu pertandingan pada nyatanya sangat minim kontribusinya dalam hasil akhir
sebuah pertandingan. Fans sepakbola bisa berteriak sampai suaranya habis dan
timnya tetap kalah. Fans sepakbola tidak ikut bertanding, pada nyatanya ia
hanya menonton pertandingan. Ia mendukung agar pemain-pemain klubnya bisa extra
semangatnya. Namun apabila kemampuannya memang di bawah kemampuan lawan yang
kondisinya prima, kekalahan tidak terelakkan. Fans sepakbola tidak memiliki
keterlibatan aktif dalam menentukan hasil akhir pertandingan. Seorang wasit
bahkan lebih “aktif” daripada fans sepakbola dalam hal ini (terutama wasit di
liga yang diatur hasilnya), walaupun ia cukup meniup peluitnya tanpa harus
berteriak.
Fans sepakbola tentu ingin
klubnya mencapai hasil maksimal, yaitu juara. Namun ekspektasi fans juga
berbeda-beda. Fans Blackburn yang pernah juara EPL misalnya, sekarang hanya
akan berharap klubnya bisa sesegera mungkin promosi ke EPL. Fans Wigan akan
berharap klubnya tidak terdegradasi tahun depan. Fans Liverpool yang
mendominasi Liga Inggris tahun 80-an sekarang hanya berharap klubnya bisa masuk
4 besar. Fans City tentu berharap akan tetap jadi juara setelah 44 tahun lebih
tidak pernah juara.
Ekspektasi yang berbeda-beda ini
terjadi karena fans
sepakbola yang waras bisa menyatukan keinginan dengan realita. Dan
untuk fans sepakbola yang waras ini, mereka akan terus mendukung timnya,
walaupun tidak menjadi juara. Fans sepakbola yang waras memahami bahwa bisa
tidaknya timnya menjadi juara tergantung pada kualitas dan kinerja manajer dan
pemain sepakbola dan dibandingkan dengan tim lawan. Fans hanya bisa mendukung
secara finansial (beli merchandise, tiket pertandingan) dan secara moral
(teriakan di lapangan, doa buat yang nonton di tv). Fans juga bisa menuntut
untuk mengganti pelatih yang tidak berhasil, atau menjual pemain yang jelek
atau membeli pemain yang bagus. Walaupun keputusan final tetap ada di tangan
manajemen klub.
Fans sepakbola yang waras
ekspektasinya tidak melulu soal trofi juara, mereka melihat kondisi tim dari
tahun ke tahun. Fans sepakbola yang waras ini bukan Glory Hunter. Maka jangan
heran masih ada yang menjadi fans Liverpool walaupun sudah 20 tahun lebih tidak
pernah juara liga Inggris misalnya.
Lalu fans seperti apa yang kita
sebut Glory Hunter itu?
Karena fans sepakbola tidak
punya keterlibatan aktif dalam menentukan hasil pertandingan, maka menjadi lucu
sebenarnya kalau fans sepakbola punya ambisi menjadi juara sebagaimana pemain
sepakbola, pelatih, ataupun klub bola itu sendiri. Yang menjadi juara dan
mendapatkan medali adalah pemain sepakbola dan pelatihnya. Klub bola menyimpan
trofi juaranya dan fans sepakbola hanya bisa ikut merasakan kebanggaan
tersebut. Glory bagi fans bersifat imajiner, adalah ekstensi dari khayalan
relasi fans-klub sepakbola. Glory itu bisa untuk fans karena mereka bisa ikut
menikmati, tapi bukan dari fans karena bukan mereka yang berjuang untuk
mendapatkannya. Fans memang dibutuhkan agar klub sepakbola tetap bisa berjalan,
namun glory yang didapatkan klub sepakbola bukanlah hasil perjuangan fans
sepakbola. Di sini menariknya.
Nah karena fans sepakbola tidak bisa mengupayakan glory tapi bisa
menikmati glory, maka glory
hunter adalah fans sepakbola yang berupaya untuk terus dapat menikmati glory
setiap musimnya. Bagaimana caranya? Tidak lain adalah dengan
cara berpindah klub yang didukung setiap musimnya. Dukung klub yang pada musim
ini kira-kira kans juaranya paling besar dan bisa memberikan glory untuk fans.
Jadi fans glory hunter ini bisa berganti klub setiap musim. Konyol bukan? Namun
fans seperti ini benar-benar ada. Musim kemarin dukung United, musim ini dukung
City karena Man City disinyalir lebih berpeluang juara. Dulu dukung Barca,
sekarang dukung Madrid. Fans seperti inilah yang disebut glory hunter.
Salah Arah Glory Hunter sering
dialami fans Manchester United. Mungkin karena dulunya mereka mendukung MU
karena sering juara, dan mungkin juga karena lagu kebangsaannya berjudul “Glory
Glory Man United”, fans-fans MU ini paling sensitif kalau saya sedang bicara
soal glory hunter. Mereka merasa dicap sebagai glory hunter, padahal tidak
perlu begitu kalau mereka adalah fans sejati MU yang tidak akan pindah ke klub
lain walaupun sedang minim prestasi. Namun kelakuan sebagian fans MU yang
sangat memuja trofi dan sering menyindir fans klub lain yang lebih minim
trofinya mungkin secara perlahan bisa mengubah mereka menjadi glory hunter sejati.
Apa yang terjadi misalnya bila MU 5 tahun tidak menjadi juara? Apakah sebagian
fans mereka akan berpindah, menyebrang ke tetangga, Man City misalnya? Mungkin
iya. Maka untuk yang tidak tahan mendukung tim tanpa glory, merekalah calon
glory hunter sejati.
Glory hunter yang
berpindah-pindah klub hanya demi menikmati kejayaan imajiner itu hidupnya pasti
menyedihkan. Ia mungkin bisa berdalih ia adalah seorang pemenang dalam
kehidupan. Dan berargumen pemenang hanya berasosiasi dengan pemenang. Dugaan
saya ia mungkin jarang “menang” dalam kehidupan sejatinya sehingga mencari
kejayaan imajiner dari mendukung sebuah klub sepakbola lewat menonton dan
berteriak di depan televisi. Ia tidak dapat merasakan suka-dukanya mendukung
sebuah klub sepakbola, tanpa trofi atau dengan trofi. Ia tidak dapat merasakan
ikatan emosional fans dan klub bola yang terkadang bisa lebih kuat daripada
pasangan suami-istri. Ia tidak dapat merasakan cinta terhadap klub bolanya,
karena cinta tidak selalu soal kemenangan. Justru di saat-saat tersulitlah
cinta itu tumbuh dan diuji.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar